China’s Watchful Eye: AI Surveillance in Uganda
Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam program surveilans di Uganda telah menjadi sorotan internasional. Program-program surveilans yang didorong oleh negara-negara seperti China, Israel, dan Rusia semakin berkembang pesat di seluruh dunia. Uganda menjadi salah satu studi kasus yang menarik, mengungkap bagaimana AI surveilans telah diterapkan, diperluas, dan dibenarkan atas nama keamanan nasional.
AI surveilans di Uganda telah mengalami perkembangan signifikan, yang sangat mempengaruhi keamanan, tata kelola, dan pengawasan publik. Namun, ada kekhawatiran terkait dengan pemerintah Uganda sebelumnya yang menggunakan pengadilan militer untuk mengadili warga sipil.
Uganda baru-baru ini menerapkan sistem surveilans berbasis AI yang luas yang dilengkapi dengan ribuan kamera televisi tertutup (CCTV) yang dilengkapi dengan kemampuan pengenalan wajah. Inisiatif ini – sebagai bagian dari rencana "Safe City" nasional – diluncurkan dengan bantuan dari perusahaan telekomunikasi China, Huawei. Otoritas Uganda berargumen bahwa jaringan teknologi tinggi ini akan memperkuat keamanan publik dan membantu mengendalikan tingkat kejahatan yang meningkat. Namun, program ini juga memicu debat, karena para kritikus menyuarakan kekhawatiran tentang privasi, potensi penyalahgunaan teknologi, dan implikasi lebih luas dari surveilans negara. Pengalaman Uganda merupakan contoh dari tren global yang berkembang di mana pemerintah mengadopsi AI surveilans atas nama keamanan, menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana cara menyeimbangkan keamanan dan kebebasan sipil di era digital.
Latar Belakang: Proyek Surveilans Safe City Uganda
Dorongan untuk surveilans CCTV di Uganda mendapatkan momentum setelah serangkaian kejahatan kekerasan yang menonjol pada tahun 2017. Setelah pembunuhan seorang pejabat kepolisian senior, AIGP Andrew Kaweesi pada Maret 2017, Presiden Yoweri Museveni memerintahkan agensi keamanan untuk segera menginstal "kamera mata-mata" di kota-kota besar dan jalan raya utama. Direktif politik ini menyebabkan peluncuran proyek surveilans Safe City yang ambisius pada tahun 2018, yang dikelola oleh Huawei. Proyek ini datang dengan biaya sekitar 458 miliar Shilling Uganda (sekitar $126 juta).
Implementasi dimulai di Kawasan Metropolitan Kampala sebagai fase pertama. Rencananya, lebih dari 3.200 kamera akan dikerahkan di seluruh Kampala yang lebih besar, dipantau dari pusat-pusat komando terpusat. Meskipun tidak ada data terkini, pada akhir tahun 2019, peluncuran di ibu kota hampir selesai – sekitar 85% dari fase Kampala (sekitar 2.500 kamera) telah terinstal. Kamera-kamera ini memantau jalan, persimpangan, dan ruang publik, memberikan video ke ruang kontrol polisi secara real time. Sistem ini merupakan bagian dari inisiatif Safe City global Huawei yang bertujuan untuk menggunakan teknologi untuk membantu penegakan hukum di area perkotaan. Pejabat polisi Uganda mengindikasikan bahwa setelah Kampala, jaringan surveilans akan diperluas ke semua kota besar di seluruh negeri.
Kepemilikan Huawei
Huawei Technologies secara resmi merupakan perusahaan swasta yang mengklaim sepenuhnya dimiliki oleh karyawan. Struktur kepemilikannya yang unik sangat tidak transparan: sekitar 99% saham Huawei dipegang oleh komite serikat dagang atas nama karyawan, dengan pendiri Ren Zhengfei dilaporkan memiliki sisanya 1%.
Karyawan diberikan saham virtual yang memberi mereka bagian dalam keuntungan perusahaan, namun analisis eksternal menunjukkan bahwa saham-saham ini tidak memberikan hak kontrol atau hak suara yang biasa atas tata kelola perusahaan. Struktur ini – kepemilikan melalui komite serikat buruh perusahaan – sangat tidak lazim di Cina, terutama untuk perusahaan sebesar Huawei.
Kurangnya transparansi tentang siapa yang pada akhirnya mengendalikan komite serikat dagang telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah manajemen Huawei atau pihak lain yang benar-benar memiliki pengaruh atas perusahaan. Huawei bersikeras bahwa tidak ada entitas eksternal (termasuk pemerintah) yang memiliki saham dan bahwa itu adalah perusahaan independen yang dikelola oleh karyawan.
Meskipun Huawei bersikeras tentang kemandiriannya, hubungannya dengan negara Cina dan Partai Komunis menjadi perdebatan. Pendiri Huawei, Ren Zhengfei, adalah mantan insinyur Angkatan Bersenjata Pembebasan Rakyat, dan dia telah menjadi anggota Partai Komunis Cina (PKC) sejak akhir 1970-an. Seperti banyak perusahaan besar Cina, Huawei memiliki komite PKC internal atau "sel partai" di antara karyawannya.
Organisasi partai semacam itu umum di perusahaan Cina dan dimaksudkan untuk memastikan kebijakan perusahaan sesuai dengan tujuan negara dan Partai. Pejabat Barat sering menunjuk pada latar belakang militer Ren dan keanggotaan partainya sebagai tanda bahwa Huawei bisa dipengaruhi oleh Beijing. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, misalnya, mengklaim pada tahun 2019 bahwa Ren "berbohong" tentang ketidakhubungan Huawei dengan pemerintah.
Rasional Resmi dan Dampak Awal
Alasan yang diutarakan oleh pemerintah Uganda untuk berinvestasi dalam surveilans berbasis AI adalah untuk memperkuat keamanan publik dan memodernisasi penegakan hukum. Pejabat kepolisian dan pemerintah menunjuk pada lonjakan kejahatan kekerasan – termasuk pembunuhan, perampokan, dan penculikan – sebagai justifikasi bagi proyek CCTV. Pengadaan sistem kamera Huawei secara eksplisit disajikan sebagai upaya "untuk mengurangi kejahatan kekerasan" di negara tersebut.
Agensi keamanan dengan cepat memuji keberhasilan awal yang dikaitkan dengan alat surveilans baru. Pada awal 2019, ketika kamera-kamera sedang dipasang di sekitar Kampala, polisi melaporkan puluhan kejadian yang telah dipecahkan atau dibantu oleh rekaman CCTV. Pejabat mengklaim bahwa kamera-kamera membantu penyidik membuat kemajuan dalam lebih dari 40 kasus dalam waktu singkat, termasuk mengidentifikasi tersangka dan kendaraan yang terlibat dalam kejahatan. Kepolisian Uganda memuji jaringan CCTV sebagai peningkatan signifikan untuk penegakan hukum, mencatat bahwa fitur-fitur seperti pengenalan wajah dan pembacaan plat nomor otomatis akan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengidentifikasi pelaku kejahatan dan merespons dengan cepat.
Kekhawatiran Privasi dan Politik
Meskipun manfaat keamanan yang dijanjikan, program AI surveilans Uganda telah menghadapi kritik berat dari pemimpin oposisi, aktivis masyarakat sipil, dan advokat privasi. Mereka mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan teknologi-teknologi ini di negara dengan pemerintahan yang telah lama berkuasa dan sejarah penindasan terhadap oposisi. Politisi oposisi telah memperingatkan bahwa jaringan kamera nasional dengan mudah bisa diubah menjadi alat surveilans politik – digunakan untuk melacak dan mengidentifikasi kritikus pemerintah dengan dalih keamanan publik. Terutama, polisi Uganda memperoleh sistem kamera pengenalan wajah tepat sebelum pemilihan umum yang kontroversial pada tahun 2021, meningkatkan kecurigaan tentang tujuan sebenarnya.
Organisasi hak privasi juga keberatan dengan kurangnya perlindungan hukum yang memadai dan pengawasan saat peluncuran surveilans dimulai. Kelompok hak digital berbasis di Kampala, Unwanted Witness, mengkritik pemerintah karena terburu-buru untuk mendeploy "kamera mata-mata" tanpa undang-undang pelindung atau pedoman yang jelas, memperingatkan bahwa hal ini bisa "membahayakan lebih banyak nyawa" daripada melindungi mereka. Aktivis menunjukkan bahwa dalam ketiadaan legislasi privasi dan transparansi, data luas yang dikumpulkan oleh CCTV dan sistem pengenalan wajah dapat dimanfaatkan untuk memantau warga yang tidak bersalah, membungkam ekspresi bebas, atau mengincar lawan politik.
Wawasan Komparatif: AI Surveillance di Afrika
Uganda tidak sendirian dalam merangkul surveilans berbasis AI – program-program serupa telah diluncurkan di negara-negara lain, menimbulkan debat sejajar tentang keamanan dan privasi:
- Kenya: Tetangga Uganda telah bermitra dengan Huawei untuk menerapkan sistem surveilans Safe City mereka sendiri, dengan lebih dari 1.800 kamera definisi tinggi terinstal di Nairobi.
- Zimbabwe: Negara tersebut melakukan perjanjian kontroversial dengan CloudWalk Technology untuk mengembangkan program pengenalan wajah nasional.
Kesimpulan
Langkah Uganda dalam surveilans berbasis AI menyoroti pedang bermata dua yang ditunjukkan oleh teknologi tersebut. Ke depan, memastikan perlindungan hukum dan pengawasan akan menjadi sangat penting. Pengalaman Uganda menyoroti tantangan global yang lebih luas dalam menyeimbangkan kebutuhan keamanan dengan hak privasi.
Implikasi dari populasi yang sepenuhnya terawasi sangat mendalam. Warga dapat mengalami otoritarianisme diri, membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi karena takut akan pembalasan pemerintah. Iklim surveilans massal dapat menyebabkan efek dingin terhadap protes politik, aktivisme, dan perhimpunan publik. Selain itu, surveilans yang luas sering kali mengikis kepercayaan antara pemerintah dan publik, karena orang mungkin merasa mereka selalu diawasi, menghambat wacana demokratis terbuka. Tanpa perlindungan yang ketat, teknologi ini dapat beralih dari alat pencegahan kejahatan menjadi instrumen kontrol.
Ini hanya awal dari eksplorasi mendalam kita tentang peningkatan global surveilans yang didorong oleh AI dan implikasinya yang luas. Seiring kelangsungan seri ini, kami akan mengeksplorasi bagaimana pemerintah menggunakan AI sebagai alat kontrol, risiko yang ditimbulkannya terhadap kebebasan sipil, dan kekhawatiran yang semakin meningkat tentang privasi dan transparansi. Dari prediksi kepolisian hingga pengumpulan data massal, kami akan menguji dampak nyata surveilans AI dan apa artinya bagi masa depan kebebasan dan tata kelola dalam dunia yang semakin termonitor.