Istilah tuli nada bermunculan di berbagai platform media sosial. Hal ini sesuai dengan sifat masyarakat yang semakin kritis, khususnya kaum muda yang kini berada pada usia produktif dalam memandang kehidupan di sekitarnya.
Memasuki masa silent resesi namun dampaknya sangat terasa, misalnya kesenjangan antara kaya dan miskin semakin terlihat jelas. Namun, tidak banyak orang yang menyadari bahwa dirinya masih diistimewakan atau nyaman dalam situasi tertentu. Artinya, orang-orang seperti ini bisa melontarkan pernyataan-pernyataan yang terkesan tuli, padahal itu karena ketidaktahuan.
Contoh lainnya adalah ketika seseorang mengatakan sesuatu yang tidak peka terhadap situasi yang mengkhawatirkan saat ini. Kejadian seperti ini kerap menimbulkan perdebatan di masyarakat, khususnya netizen. Lalu apa sebenarnya tuli nada itu?
Mengetahui arti tuli nada
Secara sederhana, tuli nada yang bila diterjemahkan berarti tuli nada/suasana, melambangkan bagaimana seseorang bereaksi dengan kurangnya empati terhadap suatu keadaan. Baik dalam unggahan, perkataan atau tindakan lainnya.
Secara hukum, keadaan ini tidak bisa dituangkan dalam peraturan apapun. Namun, ada sesuatu yang disebut etika atau logika dasar yang dapat membuat orang lain bertindak lebih berempati dalam suatu situasi. Misalnya, jangan merayakan ketika tetangga Anda menderita atau kelaparan.
Tanda-tanda mengalami tuli nada yang sering kali tidak Anda sadari
Sikap tidak peka seperti ini sangat rentan ‘digosok’ oleh orang banyak atau netizen, apalagi saat ini. Namun, yang namanya ketidakpekaan, sebagian pelaku tidak menyadarinya. Ciri yang pertama adalah kita menganggap setiap orang mempunyai situasi dan kemampuan yang sama dengan kita. Jika kita bisa, orang lain juga bisa.
Misalnya kita anggap semua teman kita tumbuh menjadi orang tua seutuhnya hingga dewasa, walaupun mungkin ada juga yang kehilangan ayah atau ibunya ketika masih kecil, sehingga hal ini mempengaruhi pertumbuhan mental dan sikapnya sekarang. Contoh lainnya, kita berpikir bahwa semua orang di usia kita sudah mapan, padahal mungkin lebih banyak generasi sandwich yang menunggu tagihan dan cicilan setiap bulannya.
Ciri yang kedua adalah kita tidak mengakui atau belum menyadari bahwa keberhasilan kita sebenarnya ditopang oleh berbagai keunggulan dari kondisi yang ada. Misalnya hidup tenteram dan dinafkahi orang tua, berpenampilan menarik dan mudah disukai orang, atau tidak mempunyai tanggung jawab hidup selain diri sendiri dan mempunyai penghasilan yang sangat mencukupi.
Ciri ketiga, menyederhanakan segalanya hanyalah soal pola pikir dan prioritas. Kita sering mendengar atau membaca jargon ini. Padahal, dalam berbagai seminar motivasi, bisnis, dan keuangan, yang dibicarakan adalah secuil kesuksesan dari jutaan kisah boncos yang tak terlihat. Adanya pengabaian terhadap faktor lain, dimana keadaan setiap individu memang berbeda-beda dan tidak selalu berhasil dengan generalisasi atau cara yang sama.
Bagaimana menjadi lebih berempati
Ada banyak cara untuk menjadi lebih berempati. Yang terbaik adalah berhenti sejenak sambil mengamati dan menjelajahi lingkungan di luar gelembung atau lingkaran kita. Misalnya saja melihat pembahasan tentang lonjakan perbudakan utang, fenomena sandwich generation atau sulitnya mencari pekerjaan, tanpa harus menghakimi atau berkomentar.
Cara ini akan melatih kita untuk membuka mata terhadap keadaan masyarakat yang sebenarnya. Hal ini tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi dan keuangan. Hal ini juga dapat melibatkan isu-isu hak asasi manusia seperti pelecehan, perang, aspek lain dari sejarah, demokrasi dan sebagainya.
BACA JUGA: Kenali Wanita Alpha dan Sifatnya, Bakat Jadi Ladyboss?
Memperbanyak membaca buku, mendengarkan podcast juga dapat membantu kita meningkatkan khasanah dan wawasan sehingga kita bisa lebih membatasi diri dalam apa yang kita katakan dan lakukan. Apa yang biasa bagi kita, bisa jadi mewah dan tak terjangkau oleh manusia lain.