D i era digital yang serba cepat ini, kecerdasan buatan (AI) seringkali dipuja sebagai penyelamat yang akan merevolusi cara kita bekerja, menjanjikan efisiensi luar biasa dan jam kerja yang lebih ringan. Namun, benarkah demikian? Riset terbaru justru menghadirkan perspektif yang mengejutkan dan mungkin sedikit mengkhawatirkan: alih-alih meringankan, kehadiran AI justru cenderung menambah jam kerja karyawan. Paradoks ini menantang pemahaman umum kita tentang dampak teknologi dan memaksa kita untuk meninjau kembali asumsi-asumsi dasar tentang produktivitas dan kesejahteraan kerja di masa depan. Sebagai praktisi yang telah lama mengamati tren teknologi dan dampaknya terhadap dunia kerja, fenomena ini bukanlah sekadar anomali, melainkan sebuah sinyal penting yang memerlukan perhatian serius. Artikel ini hadir untuk mengupas tuntas mengapa hal ini bisa terjadi, menilik data konkret dari studi-studi terkemuka, serta menganalisis implikasi jangka panjangnya. Anda akan memahami mekanisme di balik peningkatan jam kerja ini, dampak yang dirasakan oleh individu, dan bagaimana organisasi dapat secara bijak mengelola AI agar benar-benar menjadi alat yang memberdayakan, bukan justru membebani. Mari kita selami lebih dalam realitas jam kerja di era AI, menggali solusi praktis, dan merumuskan strategi untuk mencapai keseimbangan kerja-hidup yang lebih sehat dan berkelanjutan.
AI Tambah Jam Kerja Karyawan: Membongkar Mitos Efisiensi
Ketika mendengar frasa ‘kecerdasan buatan’ atau AI, sebagian besar dari kita mungkin langsung membayangkan otomatisasi tugas-tugas repetitif, peningkatan efisiensi yang drastis, dan akhirnya, lebih banyak waktu luang. Narasi ini telah mendominasi perbincangan publik dan media selama bertahun-tahun, membentuk ekspektasi bahwa AI adalah kunci menuju masa depan kerja yang lebih ringan dan produktif. Namun, sebuah riset fundamental yang baru-baru ini dirilis oleh empat ekonom terkemuka, membongkar mitos tersebut dengan temuan yang mengejutkan: AI justru cenderung menambah jam kerja karyawan secara signifikan. Realitas ini memaksa kita untuk mengevaluasi kembali bagaimana teknologi ini diintegrasikan ke dalam lingkungan kerja dan apa artinya bagi kesejahteraan profesional.
Pandangan awal mengenai AI seringkali bersifat linear, mengasumsikan bahwa setiap tugas yang diotomatisasi akan secara langsung mengurangi beban kerja manusia. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Peningkatan kemampuan AI generatif, seperti yang kita lihat pada ChatGPT, memang memungkinkan penyelesaian tugas yang lebih cepat. Namun, kecepatan ini seringkali diikuti oleh peningkatan ekspektasi, baik dari manajemen maupun dari diri karyawan itu sendiri. Pekerjaan yang semula membutuhkan waktu seharian kini diharapkan selesai dalam hitungan jam, memicu gelombang tugas-tugas baru yang seolah tak ada habisnya. Ini menciptakan siklus di mana produktivitas yang ‘didorong’ oleh AI justru mengisi kekosongan dengan lebih banyak pekerjaan, bukan waktu luang.
Fenomena Produktivitas yang Tak Terduga di Era AI
Salah satu aspek kunci yang perlu dipahami adalah bagaimana definisi ‘produktivitas’ itu sendiri bergeser di tengah adopsi AI. Dulu, produktivitas sering diukur dari output yang dihasilkan dalam jam kerja standar. Kini, dengan AI, batas-batas tersebut menjadi kabur. Karyawan merasa perlu untuk terus ‘aktif’ dan ‘responsif’ melebihi jam kerja konvensional, terutama dengan perangkat AI yang memungkinkan mereka bekerja dari mana saja dan kapan saja. Ini menciptakan tekanan psikologis untuk selalu terhubung dan menghasilkan, bahkan di luar jam kantor.
Selain itu, adaptasi terhadap alat AI baru juga membutuhkan investasi waktu dan upaya. Meskipun AI dirancang untuk mempermudah, proses pembelajaran, penyesuaian alur kerja, dan pemecahan masalah teknis awal dapat menyita banyak waktu. Karyawan seringkali harus belajar prompt engineering yang efektif, memahami batasan AI, dan mengembangkan keterampilan baru untuk berkolaborasi dengan mesin. Semua ini menambah lapisan pekerjaan yang tidak terlihat di permukaan, tetapi secara akumulatif memperpanjang durasi workday mereka. Ini adalah dinamika penting yang seringkali terlewatkan dalam diskusi mengenai efisiensi AI, sebuah tantangan yang harus diatasi agar AI benar-benar bisa memberdayakan, bukan justru membebani.
Riset Terkemuka Ungkap Realitas Jam Kerja di Era AI

Untuk membuktikan hipotesis bahwa AI Tambah Jam Kerja Karyawan, tim peneliti yang terdiri dari Wei Jiang dari Emory University, Junyoung Park dari Auburn University, Rachel (Jiqiu) Xiao dari Fordham University, dan Shen Zhang dari Seton Hall University melakukan studi mendalam. Mereka terinspirasi dari pengalaman pribadi Wei Jiang yang awalnya terpesona dengan kemampuan ChatGPT, namun kemudian menyadari bahwa ia justru bekerja lebih lama dari sebelumnya. Pengamatan anekdotal ini menjadi pemicu untuk sebuah investigasi yang lebih luas dan berbasis data.
Penelitian mereka, berjudul “AI and the Extended Workday: Productivity, Contracting Efficiency, and Distribution of Rents,” tidak hanya berhenti pada pengamatan personal. Mereka mengambil langkah lebih jauh dengan menganalisis data ekstensif untuk mendapatkan gambaran yang objektif dan representatif. Hasilnya memberikan wawasan krusial mengenai dampak AI terhadap durasi kerja dan waktu luang masyarakat, menyoroti perbedaan antara persepsi dan realitas yang sesungguhnya.
Metodologi Penelitian dan Sumber Data
Inti dari riset ini adalah analisis data dari American Time Use Survey (ATUS), sebuah survei komprehensif yang dilakukan oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS. ATUS secara rutin mencatat bagaimana warga Amerika menghabiskan waktu mereka setiap hari, mencakup berbagai aktivitas mulai dari bekerja, bersantai, hingga mengurus rumah tangga. Tim peneliti menganalisis data ATUS dari tahun 2004 hingga 2023, sebuah rentang waktu yang cukup panjang untuk mengamati tren sebelum dan sesudah adopsi AI generatif secara luas.
Periode pasca-2022 menjadi fokus utama analisis, karena inilah saat AI generatif seperti ChatGPT mulai diperkenalkan dan digunakan secara massal oleh publik. Dengan membandingkan pola penggunaan waktu sebelum dan sesudah ‘ledakan’ AI, para peneliti dapat mengidentifikasi perubahan signifikan dalam jam kerja dan alokasi waktu luang. Metodologi ini memungkinkan mereka untuk mengisolasi dampak spesifik dari AI, terlepas dari faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhi pola kerja.
Data Survei ATUS: Peningkatan Jam Kerja dan Penurunan Waktu Luang
Hasil analisis data ATUS sungguh mencengangkan dan menegaskan hipotesis awal. Setelah AI generatif diperkenalkan secara luas pada tahun 2022–2023, rata-rata jam kerja karyawan di Amerika Serikat meningkat hingga 3,15 jam per minggu. Angka ini bukanlah peningkatan yang sepele; ini setara dengan hampir setengah hari kerja tambahan yang harus dialokasikan setiap minggunya. Ironisnya, sejalan dengan peningkatan jam kerja tersebut, waktu luang yang dimiliki karyawan juga berkurang secara proporsional, sekitar 3,20 jam per minggu. Ini menunjukkan adanya hubungan kausal yang kuat antara penggunaan AI dan perubahan pola kerja.
Peneliti juga menemukan korelasi yang jelas: semakin sering seseorang terpapar teknologi AI dalam pekerjaannya, semakin panjang pula waktu kerja yang mereka habiskan. Hal ini mengindikasikan bahwa AI, meskipun secara individual dapat mempercepat tugas, secara sistemik menciptakan lingkungan kerja yang menuntut lebih banyak dari waktu dan energi karyawan. Fakta bahwa waktu luang berkurang hampir sama persis dengan peningkatan jam kerja menggarisbawahi bahwa AI tidak serta-merta ‘menciptakan’ waktu, melainkan justru menggeser alokasi waktu dari ranah personal ke ranah profesional. Dampak ini sangat relevan mengingat diskusi tentang AI Tambah Jam Kerja Karyawan dan mitos produktivitas.
Mengapa AI Justru Memperpanjang Waktu Kerja?
Peningkatan jam kerja yang disebabkan oleh AI mungkin terasa kontradiktif, mengingat janji efisiensi yang melekat pada teknologi ini. Namun, ada beberapa mekanisme kompleks yang menjelaskan mengapa fenomena AI Tambah Jam Kerja Karyawan ini terjadi. Memahami faktor-faktor ini krusial untuk mengelola integrasi AI secara lebih bijak di tempat kerja.
Ekspektasi Produktivitas yang Meningkat Tanpa Batas
Salah satu penyebab utama adalah melonjaknya ekspektasi produktivitas. Dengan alat AI yang mampu menyelesaikan tugas-tugas dalam waktu singkat, tekanan untuk menghasilkan lebih banyak dalam waktu yang sama menjadi tak terhindarkan. Pekerjaan yang sebelumnya memerlukan waktu lama untuk diselesaikan, kini dapat dilakukan lebih cepat, dan ini seringkali diinterpretasikan oleh manajemen sebagai peluang untuk menambah volume pekerjaan, bukan mengurangi durasinya. Akibatnya, alih-alih menikmati waktu luang, karyawan justru dibebani dengan daftar tugas yang lebih panjang, memanfaatkan setiap ‘waktu luang’ yang tercipta oleh AI untuk mengerjakan pekerjaan lain.
Misalnya, jika seorang penulis dapat membuat draf artikel dalam 1 jam menggunakan AI, daripada menggunakan sisa 7 jam untuk tugas lain atau istirahat, ia mungkin diharapkan menulis 8 draf artikel dalam sehari. Hal ini mengubah ritme kerja dari ‘menyelesaikan tugas’ menjadi ‘memaksimalkan output’, mendorong karyawan untuk terus bekerja dan bahkan ‘berlomba’ dengan AI itu sendiri. Lingkungan kerja yang kompetitif dan serba cepat ini pada akhirnya mengarah pada perpanjangan jam kerja, karena batasan output menjadi semakin tidak jelas.
Fenomena ‘AI Surveillance’ dan Pengawasan Karyawan
Kemunculan ‘AI surveillance’ atau sistem pengawasan berbasis AI juga memainkan peran signifikan dalam fenomena AI Tambah Jam Kerja Karyawan. Sistem ini digunakan untuk memantau kinerja karyawan, terutama bagi mereka yang bekerja dari jarak jauh. Dengan AI yang terus-menerus memantau aktivitas, banyak pekerja merasa harus tetap aktif dan terlihat produktif di luar jam kerja normal untuk membuktikan dedikasi dan menghindari kesan ‘malas’. Ini menciptakan tekanan psikologis yang konstan, di mana istirahat singkat pun bisa terasa seperti tindakan ‘tidak produktif’ yang terdeteksi.
Pengawasan ini, meskipun mungkin bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas, justru memicu ‘presenteeism‘ digital. Karyawan merasa perlu untuk merespons email, pesan, atau bahkan sekadar menjaga status online mereka aktif, jauh setelah jam kantor berakhir. Efek ini semakin diperparah dengan fleksibilitas kerja jarak jauh yang digadang-gadang sebagai keuntungan. Alih-alih mendapatkan fleksibilitas untuk menyeimbangkan hidup, banyak yang justru merasa terperangkap dalam pengawasan digital 24/7, yang secara implisit mendorong mereka untuk bekerja lebih lama. Dampak AI pada efisiensi bisnis juga seringkali dikaitkan dengan peningkatan pengawasan karyawan.
Batas Antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi yang Memudar
Integrasi AI dalam perangkat kerja personal, seperti laptop dan smartphone, semakin mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Notifikasi pekerjaan bisa datang kapan saja, dan dengan AI yang membuat pekerjaan terasa lebih ‘bisa dilakukan’ di luar kantor, godaan untuk terus bekerja menjadi sangat kuat. Dulu, meninggalkan kantor berarti meninggalkan pekerjaan. Kini, kantor seolah selalu ada di genggaman, kapan pun dan di mana pun. Ini secara tidak langsung mempromosikan budaya ‘selalu aktif’ yang merugikan kesejahteraan mental dan fisik karyawan.
Karyawan seringkali merasa bersalah jika tidak merespons pekerjaan di luar jam kantor, terutama jika AI memungkinkan respons cepat. Hal ini membuat waktu pribadi, yang seharusnya digunakan untuk beristirahat dan memulihkan diri, justru terpotong oleh intervensi pekerjaan. Akibatnya, siklus kerja menjadi tidak terputus, menyebabkan kelelahan kronis dan penurunan kepuasan hidup secara keseluruhan. Fenomena ini memerlukan kesadaran dan batasan yang tegas untuk menjaga keseimbangan. Diskusi terkait bagaimana prompt ChatGPT untuk buku bisnis dapat menghemat waktu, ironisnya, juga bisa menjadi contoh bagaimana batasan antara waktu kerja dan pribadi menjadi kabur.
Kebutuhan Adaptasi dan Pembelajaran Berkelanjutan
Meskipun AI diharapkan dapat mempermudah pekerjaan, proses adaptasi dan pembelajaran berkelanjutan terhadap teknologi baru ini sebenarnya membutuhkan investasi waktu yang tidak sedikit dari karyawan. Setiap kali ada pembaruan atau integrasi AI baru, karyawan perlu belajar cara menggunakannya secara efektif, memahami batasan-batasannya, dan menyesuaikan alur kerja mereka. Ini bukan hanya tentang ‘mengklik’ tombol, melainkan melibatkan pemikiran strategis tentang bagaimana berkolaborasi dengan AI untuk hasil terbaik.
Waktu yang dihabiskan untuk pelatihan, eksperimen dengan alat baru, dan pemecahan masalah (debugging) ketika AI tidak memberikan hasil yang diharapkan, semuanya menambah durasi kerja yang tidak terhitung. Karyawan sering merasa harus tetap di garis depan inovasi, yang berarti terus belajar dan mengadaptasi diri. Tekanan untuk tetap relevan di pasar kerja yang didorong AI menciptakan beban kognitif dan waktu tambahan yang berkontribusi pada fenomena AI Tambah Jam Kerja Karyawan. Ini menunjukkan bahwa efisiensi AI seringkali datang dengan biaya berupa investasi waktu dan energi yang substansial dari tenaga kerja manusia.
Dampak AI Terhadap Produktivitas dan Kesejahteraan Pekerja
Meskipun data riset menunjukkan bahwa AI Tambah Jam Kerja Karyawan, tidak dapat disangkal bahwa teknologi ini juga membawa peningkatan produktivitas yang signifikan. Namun, pertanyaan krusialnya adalah: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari peningkatan produktivitas ini? Dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan pekerja secara keseluruhan?
Siapa yang Sebenarnya Meraih Keuntungan dari AI?
Riset yang dilakukan oleh tim ekonom tersebut menegaskan bahwa meskipun AI terbukti meningkatkan produktivitas secara keseluruhan, manfaatnya tidak selalu dirasakan secara merata oleh semua pihak. Dalam dunia kerja modern yang didorong oleh AI, keuntungan dari peningkatan efisiensi lebih banyak dinikmati oleh perusahaan dan konsumen. Perusahaan mendapatkan peningkatan output, mengurangi biaya operasional, dan mempercepat inovasi, yang pada akhirnya meningkatkan keuntungan dan daya saing mereka. Konsumen juga diuntungkan melalui produk dan layanan yang lebih cepat, lebih murah, atau lebih personal.
Namun, bagi sebagian besar pekerja, terutama mereka di level operasional, keuntungan ini seringkali tidak diterjemahkan menjadi waktu luang atau beban kerja yang lebih ringan. Sebaliknya, peningkatan produktivitas justru menjadi pemicu untuk menaikkan standar dan ekspektasi, yang pada akhirnya menuntut lebih banyak dari mereka. Hal ini menciptakan kesenjangan antara ‘produktivitas’ makro dan ‘kesejahteraan’ mikro, di mana sistem secara keseluruhan menjadi lebih efisien, namun individu yang menjalankan sistem tersebut justru merasa lebih terbebani. Fenomena ini menyoroti perlunya redistribusi manfaat AI yang lebih adil dan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan pekerja.
Gaji Lebih Tinggi, Kepuasan Kerja Menurun: Sebuah Paradoks
Riset tersebut juga mengungkap paradoks menarik: meskipun karyawan yang sering menggunakan AI dalam pekerjaannya cenderung memiliki gaji lebih tinggi, mereka melaporkan tingkat kepuasan kerja yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa kompensasi finansial yang lebih besar tidak selalu sejalan dengan kebahagiaan atau keseimbangan hidup. Peningkatan gaji mungkin menjadi kompensasi atas peningkatan beban kerja, tekanan, dan hilangnya waktu luang yang disebabkan oleh AI.
Dengan kata lain, peningkatan produktivitas akibat AI justru memicu jam kerja lebih panjang dan tingkat stres yang lebih tinggi. Pekerja mungkin mendapatkan imbalan finansial, tetapi harus membayar dengan ‘harga’ berupa penurunan kesejahteraan emosional, kelelahan, dan perasaan burnout. Tim peneliti menyimpulkan bahwa “efisiensi dari AI memang menjanjikan, tapi di sisi lain menyebabkan waktu kerja yang lebih panjang dan penurunan kesejahteraan emosional pekerja.” Paradoks ini mengajukan pertanyaan penting tentang apa sebenarnya yang kita nilai dari kemajuan teknologi: apakah semata-mata produktivitas dan keuntungan, atau juga kualitas hidup dan kesejahteraan manusia?
Strategi Mengelola AI untuk Keseimbangan Kerja yang Lebih Baik
Melihat temuan bahwa AI Tambah Jam Kerja Karyawan, menjadi krusial bagi individu dan organisasi untuk mengembangkan strategi yang bijak dalam mengelola teknologi ini. Tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan potensi AI sebagai alat bantu, tanpa mengorbankan keseimbangan kerja dan kesejahteraan pekerja.
Kebijakan Perusahaan dan Batasan Penggunaan AI yang Jelas
Perusahaan memegang peran sentral dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat di era AI. Hal ini dapat dicapai melalui perumusan kebijakan yang jelas mengenai penggunaan AI. Kebijakan ini harus mencakup batasan jam kerja, ekspektasi responsibilitas di luar jam kantor, dan hak untuk ‘putus koneksi’ dari pekerjaan. Contohnya, perusahaan dapat menetapkan bahwa komunikasi terkait pekerjaan tidak boleh dilakukan setelah jam 5 sore atau di akhir pekan, kecuali dalam kasus darurat yang telah didefinisikan secara spesifik. Selain itu, perlu ada penekanan pada kualitas output, bukan hanya kuantitas, untuk mengurangi tekanan pada karyawan untuk terus-menerus menghasilkan.
Penting juga untuk memastikan bahwa sistem pengawasan AI tidak digunakan untuk mendorong jam kerja yang tidak sehat, melainkan sebagai alat untuk mengidentifikasi hambatan dalam alur kerja dan memberikan dukungan yang diperlukan. Transparansi mengenai data yang dikumpulkan dan bagaimana data tersebut digunakan adalah kunci untuk membangun kepercayaan. Perusahaan yang mengadopsi pendekatan ‘people-first’ dalam implementasi AI akan lebih mungkin menciptakan tenaga kerja yang lebih puas dan produktif dalam jangka panjang.
Pengembangan Skill Karyawan dalam Berinteraksi dengan AI
Karyawan juga perlu diberdayakan dengan keterampilan yang tepat untuk berinteraksi secara efektif dengan AI. Ini bukan hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga keterampilan ‘soft skill’ seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Karyawan harus belajar bagaimana menggunakan AI sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pekerjaan mereka, bukan sebagai pengganti pemikiran atau pengambilan keputusan manusia. Pelatihan yang berfokus pada prompt engineering yang cerdas, validasi output AI, dan integrasi AI ke dalam alur kerja yang ada akan sangat membantu. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja AI dan batasannya, karyawan dapat mengelola ekspektasi dan menghindari penggunaan AI yang berlebihan yang justru menambah beban kerja.
Selain itu, penting untuk mendorong budaya di mana karyawan merasa nyaman untuk beristirahat dan memprioritaskan kesejahteraan mereka. Perusahaan dapat mendukung hal ini dengan menyediakan sumber daya untuk manajemen stres, kesehatan mental, dan program-program yang mempromosikan keseimbangan kerja-hidup. Dengan demikian, investasi pada pengembangan manusia dan teknologi dapat berjalan seiring, menciptakan sinergi positif yang berkelanjutan.
Pentingnya Batasan Diri dan Manajemen Waktu yang Efektif
Di sisi individu, menanamkan kebiasaan batasan diri dan manajemen waktu yang efektif adalah krusial di era AI. Karyawan perlu secara sadar menetapkan batas-batas yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi, dan konsisten dalam menjalaninya. Ini bisa berarti mematikan notifikasi pekerjaan setelah jam kerja, menghindari memeriksa email di akhir pekan, atau secara teratur menjadwalkan ‘waktu fokus’ bebas gangguan AI.
Pemanfaatan teknik manajemen waktu seperti ‘Pomodoro Technique’ atau ‘Deep Work’ dapat membantu karyawan untuk bekerja lebih intensif dan efisien dalam periode waktu yang ditentukan, sehingga mengurangi godaan untuk bekerja di luar jam yang telah ditetapkan. Penting untuk diingat bahwa AI adalah alat; kontrol ada di tangan pengguna. Dengan disiplin diri dan strategi yang tepat, individu dapat memastikan bahwa mereka memanfaatkan AI untuk keuntungan mereka, tanpa membiarkannya mengikis waktu dan kesejahteraan pribadi. Ini adalah investasi penting untuk kesehatan mental dan produktivitas jangka panjang.
Masa Depan Pekerjaan dan Peran AI: Tantangan dan Peluang
Fenomena AI Tambah Jam Kerja Karyawan menghadirkan tantangan signifikan, namun juga membuka peluang untuk mendefinisikan ulang masa depan pekerjaan. Tantangannya adalah memastikan bahwa AI melayani manusia, bukan sebaliknya, dan bahwa kemajuan teknologi tidak mengorbankan kualitas hidup. Kita harus secara proaktif membentuk narasi AI agar tidak terjebak dalam siklus peningkatan produktivitas yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Peluangnya terletak pada kemampuan kita untuk menciptakan model kerja baru yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. Ini bisa berarti mendorong model kerja empat hari seminggu, fokus pada output berbasis proyek daripada jam kerja, atau bahkan mengeksplorasi konsep pendapatan dasar universal sebagai antisipasi terhadap otomatisasi pekerjaan. Integrasi AI yang etis dan bertanggung jawab akan membutuhkan dialog berkelanjutan antara pemerintah, perusahaan, pekerja, dan pengembang teknologi. Tujuannya adalah untuk menciptakan ekosistem kerja di mana AI benar-benar memberdayakan potensi manusia, membebaskan waktu untuk kreativitas, pembelajaran, dan kesejahteraan, alih-alih justru menambah beban kerja. Ini adalah perjalanan adaptasi yang kompleks, namun dengan pendekatan yang tepat, kita dapat memastikan bahwa masa depan pekerjaan dengan AI adalah masa depan yang lebih baik bagi semua.
Pertanyaan yang Sering Diajukan (FAQ)
Tidak selalu. Meskipun AI memiliki potensi besar untuk mengotomatisasi tugas dan meningkatkan efisiensi, riset terbaru dari American Time Use Survey (ATUS) menunjukkan bahwa AI justru dapat menambah jam kerja karyawan hingga 3,15 jam per minggu. Hal ini terjadi karena peningkatan ekspektasi produktivitas, munculnya fenomena AI surveillance, serta semakin kaburnya batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
AI surveillance adalah sistem pengawasan berbasis kecerdasan buatan yang digunakan untuk memantau kinerja karyawan, terutama yang bekerja jarak jauh. Sistem ini berkontribusi pada peningkatan jam kerja karena banyak pekerja merasa harus tetap aktif dan terlihat produktif di luar jam kerja normal untuk membuktikan dedikasi dan menghindari kesan ‘malas’. Ini menciptakan tekanan psikologis untuk selalu terhubung dan merespons pekerjaan, yang secara tidak langsung memperpanjang durasi workday.
Baik karyawan maupun perusahaan memiliki peran. Perusahaan harus merumuskan kebijakan yang jelas mengenai jam kerja, ekspektasi responsibilitas, dan hak untuk ‘putus koneksi’ dari pekerjaan. Penting juga untuk fokus pada kualitas output, bukan hanya kuantitas. Bagi karyawan, mengembangkan keterampilan dalam berinteraksi dengan AI secara cerdas, menetapkan batasan diri yang tegas antara waktu kerja dan pribadi, serta mempraktikkan manajemen waktu yang efektif adalah kunci untuk menjaga keseimbangan hidup dan memanfaatkan AI secara optimal tanpa mengorbankan kesejahteraan.
Kesimpulan
Riset terbaru secara gamblang menunjukkan bahwa kecerdasan buatan, yang awalnya diharapkan dapat meringankan beban kerja, justru AI Tambah Jam Kerja Karyawan hingga lebih dari tiga jam per minggu, sekaligus mengurangi waktu luang. Fenomena ini muncul akibat ekspektasi produktivitas yang melonjak, pengawasan AI yang intensif, serta batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang memudar. Meskipun produktivitas perusahaan meningkat, kesejahteraan dan kepuasan kerja karyawan cenderung menurun, bahkan bagi mereka dengan gaji lebih tinggi. Untuk mengatasi tantangan ini, perusahaan perlu menerapkan kebijakan penggunaan AI yang jelas dan berpihak pada karyawan, sementara individu harus mengembangkan keterampilan berinteraksi dengan AI dan disiplin diri dalam manajemen waktu. Mari bersama menciptakan masa depan kerja di mana AI benar-benar menjadi katalisator keseimbangan hidup dan produktivitas yang sehat.